Penjajahan Belanda dan Perlawanan Rakyat Jakarta
Demang adalah kaki tangan Belanda yang menindas petani Betawi
Penjajahan Belanda dimulai pada tanggal 30 Mei 1619 ketika mereka berhasil menaklukkan penguasa Jayakerta dengan mudah. Sejak itu penjajahan di Jakarta dimulai yang kemudian meluas hingga seluruh Indonesia.
Kehidupan rakyat, khususnya para petani, sangat menderita di zaman penjajahan itu. Rakyat dikenakan pelbagai pajeg, pajak, dan cukai, cuke, atas hasil keringatnya di sawah dan ladang. Akhirnya perlawanan rakyat Jakarta tak dapat dibendung lagi. Timbullah pemberontakan petani di Jakarta dan sekitarnya.
Sebenarnya pemberontakan petani abad XIX dan awal abad XX berlangsung di seluruh Jawa. Belanda sangat kewalahan menghadapi perlawanan petani yang tertindas.
Pemberontakan Petani Tambun 1869
Pemberontak Tambun sedang menjalani hukum gantung pada tahun 1870
Rama, kelahiran Ratu Jaya Depok, mengaku dirinya Pangeran Ali Basah. Pengakuan ini sangat mungkin benar. Karena di Ratu Jaya Depok terdapat makam Ratu Kiranawati, istri Prabu Surawisesa, Pajajaran (1521-1535).
Sepeninggal suaminya, Ratu Kiranawati hijrah ke Depok. Kampung di mana ia bermukim diberi nama Ratu Jaya. Pengakuan Rama bahwa ia seorang pangeran benar adanya, dan ini berarti ia keturunan Ratu Kiranawati.
Rama mengajarkan ilmu bela diri, dan sangat mungkin ia juga seorang guru kebatinan. Pengaruh Rama menyebar mulai dari Bogor, Parung, Batavia, Cibarusa, Tambun, Tegal Waru, dan Depok sendiri. Murid-muridnya banyak. Mereka adalah petani.
Rama mengajarkan bahwa tanah yang berbatas antara kali Sadane (barat) dan kali Tarum (timur) adalah "tanah kita". Karena itu kita harus rebut dari tangan Tuan Tanah Belanda. Konsep geografi yang diutarakan Rama sebenarnya wilayah Nusa Kalapa (nama wilayah Jakarta dulu berdasarkan peta Pangeran Panembong abad XVI). Pengetahuan ini mustahil dimengerti Rama jikalau ia bukan keturunan Ratu Kiranawati. Informasi ini merupakan warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya hingga Rama. Rama yang tergugat untuk merebut kembali tanah nenek moyangnya dulu. Rama menganjurkan pengikutnya untuk berontak melawan Belanda.
Motivasi pemberontakan yang dipimpin Rama terencana dengan jelas, yaitu membebaskan tanah warisan leluhur dari penguasaan Belanda. Mungkin tidak ada pemberontakan-pemberontakan petani yang motivasinya sejelas Rama.
Sasaran pemberontakan adalah kantor Assisten Residen Meester Cornelis di Tambun. Adapun kantor Residen sendiri terletak di depan Stasion KA Jatinegara. Wilayah Tambun dan sejumlah wilayah lain yang diclaim Rama, termasuk residensi Meester Cornelis.
Pilihan Rama tepat, karena penjagaan di kantor Residen lebih ketat daripada di Tambun. Di samping itu pengikut Rama lebih banyak di Tambun dan sekitarnya daripada di Jatinegara.
Pada bulan Maret 1869 Rama merayakan pesta perkawinan putrinya. Tamu-tamunya datang dari segala pelosok. Pada kesempatan itu Rama mengumumkan bahwa pada tanggal dua bulan haji (Zulhijjah) akan terjadi gerhana matahari. Itu bertepatan dengan tanggal 3 April 1869. "Pada malem gerhana kita kudu serang Belanda, lantaran ia kagak ngeliat".
Dengan 300 orang pengikutnya Rama menyerang kantor Asisten Residen Meester Cornelis di Tambun tanggal 3 April 1869. Asisten Residen dan 7 orang pegawai dan pengawal tewas seketika.
Rama dan pembantu terdekatnya menghilang. Pada tanggal 17 Juni 1869 Rama dengan 23 orang pengikutnya tertangkap. Rama dan dua orang pengikutnya dieksekusi di tempat. Sedangkan yang 21 orang diproses di landraad Meester Cornelis, pengadilan Jatinegara.
Semua petani pemberontak yang 21 orang itu dijatuhi hukuman mati gantung kepala. Pada bulan Agustus 1869 eksekusi dilaksanakan di lapangan militer Jatinegara, sekarang lapangan Jenderal Urip Sumohardjo.
Proses pelaksanaan eksekusi dilakukan bergelombang dan disaksikan khalayak ramai. Gelombang pertama, 9 orang digantung. Yang belum digantung sebanyak 12 orang ikut menyaksikan penggantungan itu dengan kaki dan tangan dirantai.
Tiba-tiba seusai pelaksanaan penggantungan yang 9 orang, kepala algojo mengumumkan bahwa yang 12 orang urung digantung. Residen dengan berkuda datang ke lapangan eksekusi menyatakan 12 orang yang tersisa itu dikenakan hukuman kerja paksa selama 15 tahun.
Ini menimbulkan teka-teki. Kemungkinan besar, ketika proses eksekusi sedang dilaksanakan datang pemberitahuan melalui telegraaf dari Kerajaan Belanda bahwa hukuman mati itu harus dibatalkan. Tetapi sudah terlanjur dilaksanakan pada 9 orang.
Pada saat itu di Belanda mulai muncul benih-benih emansipasi, yaitu tuntutan agar pemerintah kolonial Belanda menyamakan (emansipasi) perlakuan antara rakyat jajahan dengan rakyat Belanda. Tuntutan ini pengaruh dari Prancis yang pernah menjajah Belanda.
Tetapi tuntutan ini kalah pengaruhnya dengan semangat kolonialisme Kerajaan Belanda dan pegawai-pegawainya di tanah jajahan. Dalam menghadapi pemberontakan mereka bersikap membunuh pelakunya di tempat, tanpa harus dibawa ke landraad. Ini dilakukannya dalam menghadapi pemberontakan Condet tahun 1916, Kalin Bapa Kayah tahun 1924, dan sebelumnya pemberontakan tunggal si Pitung tahun 1894.
Mereka yang terpengaruh pada gagasan emansipasi hanya sekelompok kecil intelektual seperti Snouck Hurgronye.
Pemberontakan petani Tambun 1869 mematahkan mitos bahwa rakyat kecil itu bersikap nrimo, menerima apa saja perlakuan terhadap dirinya walau seburuk apa pun. Ternyata mitos itu tidak benar. Pada saatnya rakyat kecil berbicara dengan bahasanya sendiri.
Pemberontakan Petani Ciomas 20 Mei 1886
Ini adalah pemberontakan yang terjadi di luar wilayah budaya Betawi tetapi sangat erat dengan Betawi karena pemberontakan ini kelak mengilhami pemberontakan petani berikutnya termasuk di Jakarta.
Sampai dengan tahun 1915 sekitar 1.2 juta hektar tanah perkebunan/ persawahan dijual Pemerintah Hindia Belanda kepada pihak swasta. Tanah itu berstatus tanah partikulir yang pemiliknya bangsa Belanda, Eropa, dan Cina.
Petani adalah buruh tani. Mereka menerima upah per hari 12,5 cent bekerja di kebun atau di sawah. Setiap 5 pikul produksi yang dihasilkan seorang petani, petani itu menerima 1 pikul. Bagi hasil ini dinamakan cuke, dari mana berasal kata cukai. Penghasilan per tahun petani masih lagi dikenakan pajeg, dari mana berasal kata pajak. Di samping itu petani setiap bulannya selama lima hari dinyatakan bekerja kompenian, artinya tanpa upah.
Untuk pengaturan cuke, kompenian, dan pemungutan pajeg, Tuan Tanah memelihara demang dan pencalang yang dipersenjatai tombak. Demang dan para pencalang sebagai pembantunya bertingkah laku kejam terhadap para petani.
Ini derita para petani yang bekerja di Tanah Partikulir, termasuk petani Ciomas, di kaki Gunung Salak, Bogor, di tanah milik Tuan de Sturler. Kekejaman kakitangan Tuan Tanah seringkali dilindungi oleh birokrasi Pemerintah Hindia Belanda, terutama Camat. Camat berkolaborasi dengan Demang dan Pencalang memeras kaum tani, dan menyiksa mereka bilamana perlu.
Daerah Ciomas yang dingin itu tiba-tiba pada bulan Februari 1886 memanas. Camat Ciomas Haji Abdurrahim terbunuh. Apan, tersangka pembunuh, dan sejumlah petani lainnya yang terlibat, melarikan diri ke Pasir Paok. Mereka menolak menyerahkan diri.
Sebulan sebelum terbunuhnya Camat Haji Abdurrahim, Idris, seorang tokoh petani kelahiran Ciomas, diberitakan menghilang. Ia bergerak di sekitar Gunung Salak dan berpindah-pindah tempat. Bahkan diketahui Idris pernah berada di Sukabumi dan Tjiampea.
Tidak terdapat catatan yang cukup tentang bagaimana Idris mengorganisasikan perlawanan petani Ciomas terhadap Tuan Tanah. Juga tidak terdapat laporan bahwa Idris berguru pada ahli spiritual, atau Idris menjalankan tarekat. Gerakan Idris sangat rahasia sehingga tak tercium oleh spion-spion Belanda.
Pemberontakan petani Ciomas 1886 hampir berdekatan waktunya dengan pemberontakan berikutnya di Cilegon 1888. Secara teori sangat mungkin pemberontakan Ciomas dan Cilegon didalangi oleh otak yang sama.
Pemberontakan-pemberontakan petani, termasuk di Ciomas, ternyata bukan disulut oleh penderitaan akibat penindasan oleh kakitangan Tuan Tanah dan birokrasi Pemerintah Hindia Belanda belaka, tetapi ada idealisme di balik itu.
Idris mencari peluang yang bagus untuk membantai kakitangan Tuan Tanah. Peluang itu diperolehnya. Idris mendapat informasi bahwa pada malam Jumat tanggal 20 Mei 1886 pegawai dan kakitangan Tuan Tanah Partikulir Ciomas akan melakukan upacara sedekah bumi bertempat di rumah istirahat Tuan Tanah di Gadog. Upacara ini untuk berterima kasih kepada Yang Kuasa karena hasil panenan berhasil bagus. Biasanya dalam upacara sedekah bumi dilakukan makan besar. Seluruh pengunjung dijamu makan yang enak-enak, dan tak ketinggalan hiburan. Biasanya dalam acara menikmati hiburan itu tuan rumah menyediakan minuman keras.
Pada malam Kemis tanggal 19 Mei 1886 Idris dan pengikutnya merebut dan menduduki kawasan selatan Ciomas. Idris tidak melebarkan kawasan pendudukannya. Tempat ini sekedar batu loncatan saja baginya untuk menyerbu rumah Tuan Tanah di Gadog.
Benarlah pada malam Jumat 20 Mei 1886 Idris dan sejumlah pengikutnya menyerbu pesta pora yang tengah berlangsung di rumah istirahat Tuan Tanah di Gadog. Tidak kurang dari 41 kakitangan Tuan Tanah tewas seketika, dan 70 orang luka-luka. Arena pesta dibanjiri darah. Musik dan penari bubar, dan lari menyelamatkan diri masing-masing. Pengikut-pengikut Idris berteriak-teriak, "Patahkan batang leher Tuan Tanah", seraya memburu korban-korbannya. Tetapi sasaran utama yang dicarinya Tuan Tanah de Sturler, dan keluarganya, tidak tampak. Mereka berhasil menyelamatkan diri.
Seperti halnya Apan, Idris pun menghilang dari Ciomas. Sangat mungkin Idris dan Apan bergabung dengan Haji Wasit, Cilegon, yang tengah mempersiapkan pemberontakan petani tahun 1888.
Pemberontakan Condet 1916
Berdasarkan naskah Carlos Parahiyangan, diketahui bahwa kerajaan Pajajaran yang berpusat di Pakuan, Bogor, di masa Prabu Siliwangi (1482-1521) memiliki tentara reguler sebanyak 100.000 orang. Penduduk Pakuan sendiri hanya 50.000 orang. Hampir sama dengan jumlah penduduk Nusa Kalapa (Jakarta).
Bagaimanakah Prabu Siliwangi membiayai tentaranya yang sebanyak itu? Dari hasil pertanian. Kerajaan menyediakan areal tanah garapan. Kepemilikan tanah hanya pada kerajaan. Tidak ada hak milik pribadi. Kerajaan menyediakan infrastruktur, prasarana, seperti parlgl (irigasi) dan pencetakan sawah.
Penggarapan tanah Raja dengan prinsip bagi hasil. Setiap empat gedeng padi, ikat, petani mengambil satu gedeng. Jika perolehan petani berlebih, maka padinya itu dapat dijual pada kerajaan. Prinsip yang sama juga dikenakan pada lada. Untuk setiap empat bahar lada, petani mendapat satu bahar. Prinsip bagi hasil 4-1 juga diberlakukan dalam pengolahan gabah menjadi beras.
Seluruh hasil tanah dan kebun, yang menjadi milik Raja, dikumpulkan di Warung Borong (yang berfungsi semacam Bulog). Saudagar-saudagar lada dan beras, yang datang dari mancanegara pergi ke Warung Borong untuk mendapatkan komoditas pertanian.
Ketika datang penjajahan Belanda (1619) untuk kurun waktu satu abad lamanya status tanah mengalami transisi. Dalam masa itu tanah merupakan "milik penggarap", karena kerajaan-kerajaan sudah tidak berdaulat lagi. Pada permulaan abad XVIII, Belanda mengeluarkan peraturan tentang tanah Partikulir. Dengan peraturan ini secara diam-diam Belanda menganggap bahwa tanah bekas milik kerajaan itu tanah mereka. Ordonansi Tanah Partikulir, peraturan kepemilikan tanah, berisi hak memiliki tanah bagi pengusaha asing dan lokal dengan luas tak terbatas asal membayar sejumlah uang.
Ordonansi Tanah Partikulir telah menyulut perlawanan para petani di seluruh Tanah Jawa. Tidak terkecuali di Batavia, Jakarta, dan sekitarnya. Perlawanan itu bermula pada pertengahan abad XIX seiring dengan meluasnya tanah yang dibebaskan oleh tuan-tuan tanah. Tuan tanah mengenakan peraturan seenaknya kepada para petani. Petani itu sendiri merasa tanah yang digarapnya adalah miliknya sejak berakhirnya masa kerajaan.
Lady Rollinson adalah perempuan bangsawan Inggrisyang memiliki tanah yang amat luas di Cililitan Besar, Jakarta Timur. Condet, Tanjung Barat, dan Tanjung Timur termasuk Cililitan Besar. Lady Rollinson memiliki tanah Cililitan Besar sejak tahun 1915. Ia amat kaya. Ia memiliki rumah gedung di Tanjung Barat. Rumah ini terbakar pada tahun 1980-an. Sejak itu, rumah yang tergolong peninggalan sejarah itu tidak pernah dipugar lagi dan dibiarkan menjadi puing-puing.
Di rumah inilah, yang oleh orang Betawi disebut gedong, Lady Rollinson setiap malam Minggu menjamu tamu-tamunya dengan pesta pora. Sementara itu petani Condet dan sekitarnya hidup kian menderita. Sewa tanah garapan makin ditingkatkan. Para demang sebagai pengutip sewa dan pajeg berlaku amat kejam kepada petani.
Muncullah tokoh lokal yang bernama Haji Entong Gendut. Tong Gendut, begitu ia biasa dipanggil, mengumpulkan pengikut-pengikutnya. Tong Gendut menjelaskan bahwa tanah ini milik leluhur, kenapa kita harus membayar sewa kepada orang Inggris.
Pada suatu malam Minggu di tahun 1916 Tong Gendut dengan sejumlah pengikutnya mengepung rumah Lady Rollinson yang sedang berpesta pora. Di depan rumah Lady Rollinson itu Tong Gendut berseru bahwa orang-orang yang sedang berpesta itu yang menjadi sebab kesengsaraan hidup orang Condet. Tong Gendut memerintahkan pengikutnya menyerbu pesta sambil berseru, "Sabilullah gua kagak takut". Pesta bubar.
Keesokan harinya polisi opasyang tidak bersenjataapi, dengan kekuatan 12 orang mengepung rumah Tong Gendut. Tong Gendut sudah menyiapkan perlawanan. Karena kepungan polisi itu sudah diperhitungkannya. Perlawanan pun terjadi. Tong Gendut dan pengikutnya mengamuk. Empat orang polisi tewas ditebas batang lehernya dengan golok Betawi.
Keesokan harinya di pagi hari serdadu Belanda dengan kekuatan satu kompi mengurung daerah Condet dan sekitarnya. Rumah Tong Gendut terkepung. Dengan golok yang masih berlumur darah Tong Gendut keluar rumah. Satu regu serdadu yang mendekatinya diterjang sambil berseru, "Sabilullah gua kagak takut". Golok Tong Gendut mengayun di udara, disambut puluhan butir peluru yang menyalak dari laras senapan, Tong Gendut rebah dalam perlawanan.