Sejarah Masyarakat Betawi, Asal Nama Betawi, Orang Betawi, Mande-Mande, Wilayah Budaya Masyarakat Betawi, Sejarah Kota Jakarta Sejak Berdirinya Pelabuhan Kelapa
Asal Nama Betawi
Nama Betawi berasal dari jenis tanaman akasia betawi. Tanaman ini banyak tumbuh di daerah Bekasi, khususnya di kampung Taruma Jaya. Di daerah lain di Indonesia tanaman ini tumbuh di daerah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di Kapuas Hulu Tanaman ini disebut bekawi.
Tanaman ini dapat tumbuh mencapai tinggi empat meter. Daunnya disebut ketepeng. Daun ketepeng berkhasiat untuk pengobatan penyakit kulit. Selain itu kegunaan pohon betawi adalah pada akar umbinya. Akar umbi dapat dijadikan gagang senjata tajam seperti pisau, keris, dan golok.
Tanah di mana tumbuh tanaman betawi kemudian disebut tanah Betawi. Orang-orang yang berasal dari tanah atau perkampungan Betawi menyebut dirinya sebagai orang Betawi. Sebutan ini kemudian meluas tidak terbatas di daerah Bekasi saja.
Nama-nama tanah atau perkampungan, biasa diambil dari nama tanaman yang banyak tumbuh di tempat tersebut. Berikut ini beberapa nama tanaman yang kemudian dijadikan nama kampung.
Gambar diatas adalah tanaman yang dinamakan makasar atau macassarae. Dari nama tanaman ini muncul nama perkampungan Makasar di Jakarta Timur.
Orang Betawi
Orang Betawi adalah Melayu atau Malayo. Orang Betawi adalah Melayu yang bermukin di Jawa bagian Barat. Menurut para pakar bahasa seperti Prof. Nothofer dan Frankfurt University, perpindahan orang Melayu ke Jawa bagian Barat setidaknya terjadi pada abad XX sebelum Masehi.
Pada umumnya orang Betawi memilih bermukim di daerah yang berdekatan dengan laut. Orang-orang Betawi tersebar di pesisir utara Jawa bagian barat mulai dari sebelah barat timur Tanjung Pakis, atau Ujung Karawang, hingga ke barat Tanjung Kelapa, nama lama di daerah Sungat Tirem, Jakarta Utara, Tanjung Priok, Tanjung Burung, dan Tanjung Kait di Tangerang.
Nama-nama kampung dengan predikat Melayu pun dapat ditemukan seperti Kampung Melayu, Jakarta Timur, Kampung Melayu, Teluk Naga, Tangerang, Kampung Melayu, Batu Jaya, Karawang, Tana Melayu, Plumpang, Tanjung Priuk, Jakarta Utara.
Lagu Daerah Mande-Mande
Mande-mande ana kona e mande
Walo rasa bagaimana beta pulang kawin dengan se
Malayo Malayo Malayo
Malayo tinggal dari tanjung - tanjung yo - tanjung yo
Malayo tinggal dari tanjung - tanjung-tanjung yo
Sau reka-reka gaba-gaba ampat buah
Kalo nyong saying beta mari dekat - dekat - dekat jua
Malayo Malayo Malayo
Malayo tinggal dari tanjung - tanjung yo - tanjung yo
Malayo tinggal dari tanjung - tanjung - tanjung yo
Wilayah Budaya Masyarakat Betawi
Wilayah budaya berbeda dengan wilayah administrasi. Wilayah budaya suatu suku bangsa adalah wilayah di mana berdiam mereka yang berkebudayaan suku bangsa yang bersangkutan. setidaknya berbahasa daerah suku tersebut. Sedangkan wilayah administrasi adalah wilayah pemerintahan daerah, dapat pemerintahan daerah provinsi, dapat juga pemerintahan kabupaten atau kota. Wilayah budaya tidak selalu sama dengan wilayah provinsi.
Batas wilayah budaya Betawi di sebelah barat adalah daerah aliran sungai Cisandane, di sebelah timur adalah daerah aliran sungai Citarum dan Cilamaya, di sebelah selatan adalah Cibinong, Cileungsi, sedangkan di sebelah utara adalah Kepulauan Seribu.
Gambaran Kampung-kampung Betawi Zaman Dulu
Kesibukan pelabuhan Kelapa, yang kemudian disebut Sunda Kelapa pada abad XV M.
Kampung Papanggo, Sunter, Jakarta, utara Abad XVIII, danam dan bersahaja
Kampung Jati Baru, Tanah Abang, abad XIX
Ini tipe rumah Betawi yang lain lagi. Kecuali atap, semua terbuat dari jati. Tapi beranda diberi langkan supaya asri. Lokasi di Babelan, Bekasi.
Ini tipe mesjid Betawi, atapnya bertingkat.
Perkampungan Jakarta di Kampung Rorotan, Jakarta Timur, 2011.
Pada zaman batu orang-orang Betawi diketahui telah berdiam di daerah Jakarta dan sekitarnya. Terbukti dengan ditemukannya kapak batu yang tersebar di daerah Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur. Mereka bercocok tanam dan menangkap ikan.
Zaman batu berlaku setidaknya hingga 3000 tahun yang lalu, yaitu abad X SM. Tidak diketahui mereka berdatangan dari mana, tetapi kalau kita melihat peta bahasa Melayu di Jawa bagian barat, maka di daerah aliran Sungai Cilamaya, penduduk menggunakan bahasa Melayu, di samping bahasa Sunda dan Jawa.
Di daerah Karawang terdapat beberapa nama tempat yang bercirikan Melayu seperti Tana Timbul, Sungai Brantas, dan Sungai Buntu. Di samping itu di tiga buah kecamatan Karawang yaitu Kecamatan Batu Jaya, Telaga Jaya, dan Pakis Jaya, penduduk berbahasa Melayu dan mengaku dirinya sebagai orang Betawi.
Di daerah Batu Jaya dan Pakis Jaya terdapat peninggalan purbakala berupa 24 buah situs yang oleh penduduk disebutu unur. Unur berasal dari bahasa Polynesia yang berarti subjek yang mempunyai pengaruh yang kuat.
Situs Batu Jaya, yang meliputi juga Kecamatan Telaga Jaya Luas arealnya 5,5 km.
Situs ini terdapat di Kecamatan Batu Jaya, Karawang. Penduduk menyebutnya Unur Jiwa. Luas bangunan 19 x 19 meter. Dari materi yang dipergunakan yaitu batu bata, diperkirakan Unur Jiwa dibangun pada abad II SM.
Telapak kaki dalam posisi hendak ngahiyang, mengangkasa. Ditemukan di Batu Jaya, Karawang.
Susunan batu pada Unur Jiwa dengan ornament, ragam hias, crawl, crawl (lingkaran putih) yang merupakan ciri khas peradaban Asia Barat dan Egypt yang mengandung makna enerji. Arah garis crawl dari kanan bergerak ke kiri.
Pada gambar kiri crawl di atas batu putih. Ini juga di temukan di Batu Jaya, Karawang. Crawl kemudian hari berkembang menjadi huruf waw dalam aksara Arab.
Dari bukti-bukti kebudayaan yang telah dikemukakan, ternyatalah bahwa manusia dan kebudayaan Betawi telah lama berada di daerah Jawa bagian barat. Orang Betawi adalah Melayu yang bermukim di daerah Jawa bagian barat. Tidak diketahui sejak kapan mereka beradaa di kawasan ini, dan sejak kapan pula mereka memulai penyebut dirinya orang Betawi.
Sejarah Kota Jakarta Sejak Berdirinya Pelabuhan Kelapa
Daerah pemukiman orang Betawi berdasarkan peta Panembong yang dibuat di masa Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran (1482-1521) disebut Nusa Kelapa. Mula-mula ketika pelabuhan didirikan pada abad XII bernama Pelabuhab Kelapa, atau labuhan kelapa. Kemudian pelabuhan ini lebih dikenal sebagai Pelabuhan Sunda Kelapa.
Nama Sunda Kelapa baru dikenal pada awal abad VII. Nama ini berasal dari pelayar-pelayar Portugis. Disebut Sunda Kelapa karena pelabuhan ini milik Kerajaan Sunda Pajajaran.
Pelabuhan Sunda Kelapa disukai para pelayar karena berada di dalam teluk. Lagi pula kedalaman lautnya di pesisir tidak terlalu rendah, sehingga memadai untuk kapal merapat.
Hal lain yang disukai para pelayar dari Pelabuhan Kelapa adalah di pelabuhan ini banyak dijual air tawar yang bersih dan berguna untuk bekal dalam pelayaran. Di sekitar pelabuhan terdapat dua sumber air bersih, yaitu sumur Mandi Rancan, yang terletak di Jalan Kakap, dan pancoran air di Pancoran, Kota.
Penduduk berjualan bejana yang terbuat dari tembikar, beras, dan lada kepada pelayar. Sedangkan pelayar berjualan pakaian dan bahan pakaian. Ada juga pelayar yang berjualan keramik.
Karena ramainya Pelabuhan Sunda Kalapa, penduduk Betawi banyak yang berpindah dari daerah sebelah timur yaitu Bekasi dan Karawang ke barat mendekati pelabuhan. Menurut naskah Portugis de Quoto tahun 1531 tercatat di daerah Pasar Ikan bermukim penduduk Betawi yang menghuni 3000 rumah yang bagus buatannya.
Sampai dengan akhir abad XVII topografi daerah sekitar Pelabuhan Sunda Kalapa sangat bagus. Ada pegunungan yang disebut Gunung Biru yang di kaki gunungnya tumbuh pohon jati ulin, yang dalam bahasa Latin disebut Tectona grandis.
Mata pencaharian yang paling banyak mendatangkan uang bagi penduduk adalah menjadi penerjemah. Jual beli antara penduduk dan pelayar, dan di antara sesama pelayar memerlukan jasa penerjemah.Pelayar datang dari pelbagai negara, bahkan ada yang datang dari tempat yang jauh seperti Arab.
Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang telah bergeser dari tempatnya semula di Pasar Ikan berpindah ke arah timur di dekat Jalan Lodan. Fungsinya pun telah berubah, tidak lagi sebagai pelabuhan Internasional, atau pelabuhan samudera, tetapi menjadi pelabuhan pelayaran pantai saja, atau pelayaran antar pulau-pulau di Indonesia.
Daerah sekitar Pelabuhan Sunda kalapa tetap mempunyai daya tarik. Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang banyak daya tariknya. Para wisatawan tertarik akan pelbagai macam kapal-kapal atau perahu-perahu, yang datang dari pelbagai daerah.
Museum Bahari yang terletak di Pasar ikan juga menarik untuk dikunjungi. Karena terdapat kapal-kapal yang merupakan peninggalan sejarah bahari.
Di samping itu ada Menara Syahbandar yang merupakan saksi kejayaan Pelabuhan Sunda Kalapa.
Sejarah perkembangan kota Jakarta dimulai dari Pelabuhan Sunda Kalapa. Kemudian ketika kedatangan penjajah Belanda, kota Jakarta diluaskan ke arah selatan. Di zaman kekuasaan Jayakarta tak ada perkembangan kota, melainkan pihak Jayakarta mendirikan bangunan darurat berupa istana dan mesjid dengan dikelilingi temboktanah di tepi timur Kali Besar. Selama kekuasaan Jayakarta (1527-1619) tidak ada satu pun bangunan peninggalan Jayakarta. Sedangkan istana darurat yang mereka dirikan dihancurkan Belanda pada tanggal 30 Mei 1619.
Bangunan peninggalan Belanda yang masih utuh antara lain sebagaimana terlihat dalam gambar-gambar berikut.
Stasion Kereta Api Kota 1940
Kehidupan Perekonomian Masyarakat Betawi
Kali Tanah Abang pada abad XIX
Di samping kali masih terdapat lagi sejumlah anak-anak sungai dan kanal-kanal yang dibuat Belanda sebagai penyalur banjir. Sehingga Jakarta dapat dikatakan sebagai kota air.
Dengan jalan air orang-orang Betawi melakukan perhubungan. Mereka yang hidup di daerah pesisir berhubungan melalui Laut Jawa. Perahu atau prau, menjadi alat pengangkutan yang amat penting.
Ada beberapa jenis prau antara lain prau layar satu. Prau layar satu dipergunakan di laut. Untuk angkutan sungai dipergunakan prau tanpa layar. Untuk menyeberangi sungai orang-orang Betawi menggunakan rakit, atau getek, atau eretan. Getek terbuat dari bambu, sedangkan eretan terbuat dari kayu.
Prau layar satu dipergunakan untuk menangkap ikan, di samping sebagai angkutan. Sekarang nelayan menggunakan prau motor.
Prau Layar 1
Prau Layar Satu khas Betawi. Dengan prau seperti ini orang Betawi bukan orang laut, mereka hanya melakukan pelayaran pantai.
Di samping sebagai nelayan, dengan air orang Betawi juga dapat mencari nafkah dengan bekerja dalam jasa angkutan air.
Air memberi keberkahan lain kepada masyarakat, yaitu membuat sawah tidak kering. Tentu saja jika air terlalu melimpah dapat menyebabkan banjir sehingga petani gagal panen.
Tetapi banjir tidak datang tiap saat. Pada musim yang normal orang-orang Betawi bekerja di sawah sebagai petani. Karena banyak areal sawah yang berlokasi tidak jauh dari pesisir, banyak orang Betawi yang mengerjakan dua profesi, yaitu sebagai petani dan sebagai nelayan.
Perdagangan kayu dan bambu di Kali Angke pada awal abad XX
Jakarta merupakan pemasok kayu terbesar sampai dengan tahun 1920. Pada tahun 1910 saja di daerah Kebayoran terdapat 110.000 batang jati bayur. Nama-nama tempat di Jakarta menunjukkan bahwa di tempat itu pernah menjadi kawasan hutan jati, atau tempat penggergajian kayu jati.
Ragam hias terbuat dari kayu jati. Hasil karya pengrajin Betawi pada awal abad XX
Termpat-tern pat yang menunjukkan pernah menjadi kawasan hutan jati adalah Kebayoran, Ciganjur, Jati Padang, Jati Petamburan. Ganjur adalah nama lain dari jati bayur. Sedangkan Jati padang adalah jati wadang. Jati wadang adalah pohon jati yang lingkaran tengah pokok kayunya paling sedikit 40 cm. Lawannya adalah Jati asih yang lingkaran pokok kayunya kurang dari pada itu.
Tempat-tempat penggergajian dan perdagangan jati disebut pejaten. Orang-orang Betawi banyak bekerja di bidang perkayuan, termasuk sebagai pengrajin kayu. Sekarang masih terdapat tempat-tempat pengrajin kayu di mana orang Betawi banyak bekerja, seperti di Klender, Jakarta Timur, dan Pondok Pinang, Jakarta Selatan.
Pemandangan di muka Stasion Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat. Tampak sado-sado menanti penumpang.
Jasa angkutan darat yang terutama adalah sado. Sado disebut juga delman. Kendaraan ini menggunakan tenaga kuda. Kuda juga digunakan untuk menarik gerobak. Gerobak adalah alat angkutan barang.
Banyak orang Betawi yang menjadi kusir sado. Kusir sado pada umumnya memiliki alat angkut dan kuda sendiri. Mereka tidak bekerja kepada orang lain. Sekarang sado sudah tidak banyak terlihat, kecuali di daerah Kebon Jeruk, Jakarta-Barat.
Alat angkutan umum sekarang adalah kendaraan bermotor mulai dari bajaj, mikrolet, bus mini, sampai kepada busway. Tetapi di daerah kota tua dan Tanjung Priok masih dapat di jumpai ojek sepeda.