MAKALAH MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI PANGAN FERMENTASI COKELAT
Biji kakao merupakan Tengah dan di bagian utara Amerika Selatan. Tanaman kakao tidak hanya tumbuh di Amerika saja, namun di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Indonesia merupakan Negara penghasil kakao terbesar ketiga setelah Ghana dan Pantai Gading. Pada tahun 2015, bahan baku pembuatan produk cokelat yang bernilai ekonomi tinggi. Menurut Wahyudi dkk. (2008), biji kakao diperoleh dari biji buah tanaman kakao (Theobroma cacao L.) yang berasal dari hutan tropis di Amerika Direktorat Jenderal Perkebunan mengatakan bahwa Indonesia mampu mengekspor kakao sebanyak 350.730 ton dengan nilai 1.316.867 US$.
Kepemilikan perkebunan kakao di Indonesia berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2014), 95% merupakan perkebunan rakyat. Dengan areal perkebunan sedemikian luas, perkebunan rakyat menyumbang92% produksi biji kakao kering nasional. Namun produksi biji kakao kering dari perkebunan rakyat umumnya masih mengalami permasalahan pascapanen.
Menurut Wahyudi dkk. (2008), permasalahan yang dihadapi untuk mutu kakao Indonesia adalah tingginya tingkat keasaman biji yang diikuti oleh flavor yang lemah, belum adanya konsistensi mutu, dan masih ditemukan biji-biji yang tidak terfermentasi. Haryadi dan Supriyanto (2012) mengatakan bahwa fermentasi biji kakao petani Indonesia khususnya yang dihasilkan oleh perkebunan rakyat, dihargai paling rendah di pasaran Internasional karena kualitas biji yang masih dinilai rendah dan didominasi oleh biji-biji yang tidak terfermentasi dengan baik (slaty) dibandingkan dengan biji kakao dari negara lain di kawasan Afrika Barat. Untuk itu perlu adanya pengembangan teknologi fermentasi pada biji kakao untuk mengoptimalkan dan meningkatkan kualitas fermentasi pada biji kakao.
Proses pengolahan kakao di tingkat petani masih dapat dikatakan minim. Hal ini dikarenakan usaha pengolahan biji kakao masih berpegang dari segi kuantitas dan kecepatan dalam menghasilkan uang sehingga selama ini petani kakao menjualnya masih dalam bentuk biji. Penanganan pasca panen yang dilakukan oleh petani masih dalam tahap pemecahan buah, pengeringan biji dengan sinar matahari dan proses fermentasi. Permasalahan yang dihadapi petani adalah ketidakstabilan harga kakao, sehingga pada saat harga kakao turun, penghasilan petani menjadi menurun dan merugi. Selain itu dengan hanya menjual berupa biji kakao saja, nilai tambah yang diperoleh petani tidak ada.
Dodol coklat pada umumnya sudah ada di pasaran, namun pembuatan dodol coklat tersebut kebanyakan menggunakan bubuk coklat yang sudah ada di pasaran sehingga kurang memanfaatkan ketersediaan biji kakao. Oleh karena itu perlu adanya alternatif pengolahan biji kakao menjadi suatu produk yang dapat menambah nilai jual dari kakao dengan teknologi yang sederhana, mudah dan dapat terjangkau oleh petani kakao di Lampung. Salah satu bentuk pengolahan kakao untuk meningkatkan nilai tambahnya yaitu dengan mengolahnya menjadi dodol coklat. Dodol merupakan makanan tradisional yang terbuat dari bahan baku tepung ketan, gula merah dan santan kelapa yang didihkan sampai kental. Dodol merupakan makanan semi basah dan memiliki rasa manis, gurih, berwarna coklat, bertekstur lunak (Hartati et al., 1996). Dodol coklat dapat dibuat/diproduksi oleh petani dengan teknologi pengolahan yang cukup sederhana. Proses pembuatan dodol coklat tidak menggunakan alat-alat canggih dan mahal, hanya berupa wajan, kompor serta alat-alat dapur yang mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahan yang ada yaitu belum ditemukannya formulasi yang tepat antara tepung beras ketan dan bubuk coklat yang tepat untuk menghasilkan dodol coklat yang disukai masyarakat. Oleh karena itu perlu diketahui lebih lanjut perbandingan bubuk coklat dan tepung beras ketan yang tepat dalam pembuatan dodol coklat
SEJARAH COKELAT
Cokelat pertama kali ditemukan oleh bangsa Olmek di Amerika Selatan pada tiga ribu tahun yang lalu. Pada masa itu, penduduk Mesoamerika mengolah biji kakao menjadi minuman yang rasanya pahit. Bertahun-tahun setelah bangsa Olmek punah, cokelat pun masih dinikmati oleh bangsa Maya yang menghuni Amerika Selatan setelahnya. Bangsa Maya percaya bahwa pohon kakao merupakan milik para dewa dan buahnya merupakan hadiah dari dewa untuk manusia (Atkinson, Banks, France, & McFadden, 2010).
Pada masanya bangsa Maya merupakan bangsa yang maju secara intelektual, seni dan spiritual. Kakao sebagai tanaman yang penting bagi bangsa ini sering muncul dalam karya-karya yang mereka ciptakan. Gambar kakao dipahat pada dinding istana dan kuil yang dibangun bangsa Maya serta dilukiskan pada wadah yang mereka gunakan untuk minum (Atkinson, Banks, France, & McFadden, 2010). Selain itu, dalam buku-buku yang mereka tulis menggunakan hieroglif dijelaskan berbagai cara membuat minuman cokelat (Pech, 2010).
Bangsa Aztek yang hidup setelah bangsa Maya melanjutkan budaya meminum cokelat dan bahkan sangat mengagungkannya. Cokelat di zaman bangsa Aztek merupakan sumber daya yang berharga dan digunakan sebagai mata uang (Pech, 2010). Pajak untuk kaisar pun dipungut dalam bentuk biji cokelat (Smithsonian.com, 2008). Kaisar bangsa Aztek, Montezuma, dikenal sangat menyukai cokelat dan meminumnya lima puluh kali sehari. Untuk meminum cokelat, Montezuma menggunakan cawan dari emas yang segera dibuang ke danau setelah dipakai (Atkinson, Banks, France, & McFadden, 2010; Pech, 2010).
Walaupun berlimpah, cokelat ketika itu dianggap sebagai kemewahan dan hanya diminum oleh kaisar, pejabat dan petinggi istana. Cokelat juga diberikan kepada prajurit yang akan pergi berperang karena dipercaya dapat meningkatkan energi mereka (Atkinson, Banks, France, & McFadden, 2010). Orang Eropa yang pertama kali menemukan kakao di Amerika Selatan adalah Christopher Colombus, namun ketika itu ia tidak menganggap kakao berharga (Afoakwa, 2010).
Cokelat kemudian masuk ke Benua Eropa berkat seorang penjelajah dari Spanyol yang bernama Hernan Cortés (Afoakwa, 2010). Ia mengenal cokelat ketika berkunjung di kerajaan Aztek dalam penjelajahannya di tahun 1519 (Hill dan Parloa, 2004). Disana ia bertemu dengan Montezuma II yang menyambutnya dengan baik. Cortés dijamu dengan jamuan makan malam yang mewah dan diberikan berbagai hadiah, termasuk satu kebun kakao. Menyadari tingginya nilai ekonomi cokelat, Cortés bersama rombongannya dan beberapa penduduk lokal berhasil menjatuhkan Montezuma dan menguasai daerah Aztek (Morganelli, 2006).
Cortés membawa masuk cokelat ke Spanyol pertama kali di tahun 1528. Penduduk Spanyol menambahkan kayu manis, biji pala, dan gula pada minuman cokelat yang mereka buat. Mereka tidak suka menggunakan bubuk cabai seperti yang umum dipakai bangsa Aztek. Karena cokelat masih langka di Eropa, Spanyol merahasiakan keberadaan cokelat mereka. Saat itu, hanya biarawan saja yang diizinkan mengolah biji kakao (Morganelli, 2006).
Cokelat mulai menyebar keluar Spanyol dan masuk ke Perancis dalam dua tahapan (Toussaint-Samat, 2009). Pertama di tahun 1615 ketika putri dari Raja Spanyol Philip II menikahi Raja Perancis Louis XII dan kedua ketika Maria Theresa dari Spanyol menikah dengan Raja Louis XIV (Toussaint-Samat, 2009). Sejak saat itu Kerajaan Perancis menyukai minuman cokelat juga karena dipercaya baik untuk kesehatan.
SEJARAH COKELAT DI INDONESIA
Masuknya cokelat ke tanah Indonesia adalah berkat jasa dari Bangsa Spanyol. Mereka membawa cokelat ke Sulawesi, tepatnya ke Minahasa di tahun 1560. Namun begitu, ekspor kakao dari Indonesia baru dimulai pada zaman penjelajahan Belanda. Sejumlah 92 ton kakao dibawa dari pelabuhan Manado ke Manila di tahun 1825- 1838 (Wahyudi, et al., 2008). Ekspor ini lalu terhenti disebabkan adanya serangan hama pada tanaman kakao. Selain Manado, kota Ambon ketika itu memiliki tanaman kakao yang produktif. Tercatat pada tahun 1859, terdapat 10.000 hingga 12.000 pohon kakao namun kemudian pohon tersebut hilang tanpa ada informasi apapun (Wahyudi, et al., 2008). Pulau Jawa sendiri baru mulai ditanami kakao di tahun 1880. Penanaman kakao dilakukan karena tanaman kopi Arabika saat itu terserang penyakit karat daun sehingga banyak yang beralih (Wahyudi, et al., 2008).
Budidaya kakao di Indonesia bertahun-tahun setelah kemerdekaan telah mengalami perkembangan. Tercatat pada tahun 2007 Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana di Afrika Barat (Departemen Perindustrian, 2007). Namun sayangnya, kualitas kakao Indonesia masih rendah di pasar internasional. Kakao Indonesia didominasi oleh biji-biji tanpa fermentasi, biji dengan kadar kotoran tinggi serta terkontaminasi serangga, jamur dan mikotoksin (Wahyudi, et al., 2008).
ALAT DAN BAHAN
ALAT :
- Peti fermentasi
- Thermometer
- Plastik/ sarung goni
- Teaster
BAHAN :
- Kakao basah
PROSEDUR KERJA
a. Pilih buah kakao dengan kualitas yang baik (yang lebih besar dan padat)
b. Masukkan kedalam peti fermentasi krang lebih dengan kapasitas 40g (l dan p = 40 cm t = 50 cm) selama 4-5 hari dan 2 hari sekali di balik agar merata.
c. Cek suhu pada hari ketiga menggunakan thermometer, suhu harus mencapai kurang lebih 48-50°C. Jika belum mencapai suhu tersebut, cek penutupnya, rapatkan penutupnya dan tambahkan lembaran plastik ataupun sarung goni.
d. Pada hari ke empat dilakukan lagi pengecekan. Pada tahap ini suhu sudah mencapai interval 48-50°C
e. Pada hari kelima keluarkan biji kakao dari peti fermentasi untuk ditebar secara merata di lantai penjemuran.
f. Pada cuaca cerah, kurang lebih 4-5 hari biji kakao kering, lalu cek kadar airnya. setelah kadar air mencapai 7% kakao bisa diangkat ke gudang.
g. Penyortiran biji kakao fermentasi, untuk memisahkan biji kakao yang kisut, sampah, benda asing seperti sampah, kulit, dan daun-daunan.
PEMBAHASAN
Gula reduksi merupakan hasil perombakan pektin, pati, dan sukrosa yang terkandung dalam pulp dan tetes tebu oleh mikrobia selama fermentasi. Gula reduksi selain berfungsi sebagai bahan mentah pembentukan etanol juga berfungsi sebagai senyawa calon rasa dalam biji kakao. Kandungan gula reduksi pada fermentasi biji kakao kering jemur meningkat pada awal fermentasi dan menurun pada pertengahan fermentasi dan tetap stabil hingga akhir masa fermentasi (Afoakwa dkk., 2013).
Gula yang terdapat dalam keping biji kakao sebelum fermentasi yang sebagian besar berupa sukrosa akan mulai mengalami hidrolisis pada saat awal fermentasi secara anaerob sampai selesai proses fermentasi. Gula reduksi yang terkandung dalam keping biji kakao adalah glukosa dan fruktosa. Kadar gula reduksi pada biji kakao kering jemur lebih rendah dari gula reduksi pada biji kakao segar, hal ini mengindikasikan bahwa proses fermentasi biji kakao kering dalam penelitian ini berjalan lebih lambat, jika dibandingkan dengan proses fermentasi biji kakao basah (Moreira dkk, 2013).
Gula di dalam pulp merupakan substrat yang dapat dirombak menjadi etanol, sedangkan inokulasi khamir meningkatkan jumlah mikrobia yang bekerja merombak gula menjadi etanol. Peningkatan proses fermentasi yang terjadi akibat inokulasi mikroorganisme banyak dilaporkan pada beberapa penelitian. Penido dkk. (2013) pada penelitiannya melaporkan penambahan biakan Saccharomyces cerevisiae dan beberapa biakan bakteri lain dapat meningkatkan kinerja fermentasi biji kakao.
Pada praktikum kali ini bakteri yang digunakan dalam fermentasi biji kakao yaitu bakteri Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus lactis, dan Acetobacter aceti.
populasi Saccharomyces cerevisiae mengalami penurunan saat proses pengeringan dan kembali aktif setelah dilakukan rehidrasi kadar air pulp. Aktivitas S. cerevisiae juga dapat ditunjukan oleh kenaikan hasil degradasi gula menjadi etanol. S. cerevisiae mempunyai peran penting dalam fermentasi kakao terutama untuk menghasilkan alkohol dengan kondisi oksigen terbatas namun kadar gula relatif tinggi. Alkohol selanjutnya diubah menjadi asam asetat oleh A. aceti.
Setelah 24 jam fermentasi populasi S. cerevisiae mengalami penurunan hal ini disebakan oleh peningkatan jumlah etanol dan mulai membaiknya aerasi pada tumpukan massa biji, selanjutnya peran S. cerevisiae dilanjutkan oleh L. lactis karena kondisi lingkungan fermentasi mulai ideal untuk pertumbuhan bakteri L. lactis, dan kandungan gula pulp masih tersedia dalam jumlah kecil. L. lactis merupakan salah satu bakteri asam laktat yang bersifat anaerob atau mikroaerofilik. Pertumbuhan optimum bakteri asam laktat terjadi pada jam ke-36 sampai jam ke-72 fermentasi. Aktivitas L. lactis selama fermentasi juga ditunjukan dengan produksi asam laktat. Kandungan tertinggi asam laktat terjadi saat setelah 60 jam fermentasi. Semakin berkurangnya gula pada pulp serta mulai membaiknya aerasi juga meningkatnya suhu lingkungan fermentasi peran A. aceti dimulai.
A. aceti adalah bakteri asam asetat yang merombak etanol menjadi asam asetat. Pertumbuhan optimum bakteri asam asetat terjadi pada jam ke-24 sampai jam ke-72 fermentasi. Kosentrasi asam asetat tertinggi terjadi pada jam ke 84.
Kualitas biji kakao hasil fermentasi ditentukan terutama oleh keasaman (pH) dan keasaman biji selama fermentasi. Selama fermentasi mikroba mendegradasi gula pada pulp sehingga menghasilkan alkohol dan asam organik yang terdifusi kedalaam biji. Produksi asam dari degradasi pulp sangat penting dalam fermentasi, dengan terdifusinya asam kedalam biji menjadi awal reaksi biokimia dalam biji dimulai yang akan menghasilkan biji kakao fermentasi yang baik.
Biji kakao hasil fermentasi memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan biji kakao yang tidak mengalami proses fermentasi. Biji kakao hasil fermentasi memiliki aroma, rasa, dan warna yang lebih berkualitas dan beraneka ragam sesuai dengan proses dan bakteri yang digunakan saat fermentasi.