Perkembangan Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Penjajahan Jepang
1 April 1943, Berdirinya Keimin Bunka Shidoso (pusat kebudayaan di Jakarta). 1944, Osamu Seirei (penertiban sekolah-sekolah swasta)
Sejak kedatangannya di Indonesia, Jepang terus berusaha untuk menarik simpati rakyat Indonesia melalui propaganda yang dikenal dengan Gerakan 3A. Dengan giat dan penuh semangat, Jepang mempropagandakan gerakan tersebut melalui berbagai media, seperti media pers. Bahkan, Jepang tidak tanggung-tanggung untuk memberi komisi yang besar bagi pers pribumi maupun pers Belanda yang mau mempropagandakan gerakan tersebut. Dalam propagandanya, Jepang menerangkan bahwa negara yang dimasukkan dalam lingkungan Asia Timur Raya adalah negara terbelakang yang akan mendapat bantuan dari Jepang.
Dalam catatan perjalanan sejarah bangsa Indonesia, penjajahan Jepang merupakan masa penderitaan bagi bangsa Indonesia. Dampak yang ditimbulkan penjajahan Jepang, baik yang bersifat positif maupun negatif tampak pada berbagai aspek kehidupan.
1. Perkembangan Pendidikan
Kegiatan pendidikan pada zaman pendudukan Jepang mengalami perubahan dan penurunan secara drastis, baik dalam jumlah sekolah, murid, maupun guru. Jika pada masa pemerintahan kolonial Belanda banyak dibangun sekolah-sekolah pada masa penjajahan Jepang hal tersebut diabaikan. Dua lembaga pendidikan yang pernah dibangun dan dirancang pada masa pemerintahan kolonial Belanda ditiadakan kemudian diganti dengan pendidikan dasar yang hanya satu macam saja dengan lama pendidikan enam tahun. Bagi bangsa Indonesia, di satu sisi apa yang dilakukan pemerintah Jepang memberikan keuntungan, terutama penghapusan diskriminasi yang sebelumnya selalu melekat dalam setiap aspek kehidupan. Namun di sisi lain, apa yang dilakukan Jepang pada dasarnya telah menghambat bagi perkembangan pendidikan.
Sistem pengajaran dan kurikulum yang digunakan pada sekolah-sekolah semasa penjajahan Jepang disesuaikan dengan kepentingan perang. Melalui pendidikan yang diterapkannya, Jepang bermaksud untuk mencetak kader-kader yang akan mempelopori dan merealisasikan konsepsi ’’Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.” Untuk mewujudkan kepentingannya, Jepang melakukan hal-hal berikut.
- Jepang mewajibkan para siswa untuk mengikuti pelatihan dasar kemiliteran.
- Penjajah Jepang menanamkan semangat Jepang kepada para siswa.
- Jepang mewajibkan para siswa untuk menghafal lagu kebangsaan Jepang.
- Para guru diharuskan mengikuti kursus bahasa Jepang dan diwajibkan untuk menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama untuk kepentingan mengajar.
- Jepang mengindoktrinasi para guru melalui berbagai latihan bagi guru-guru di Jakarta.
- Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda dan mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan.
- Para siswa diwajibkan mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan, membersihkan asrama, dan memperbaiki jalan-jalan.
Pada intinya, lembaga pendidikan masa pendudukan Jepang dipandang sebagai tempat indoktrinasi Jepang. Konsepsi Jepang dalam pendidikan adalah melalui pendidikan dibentuk kader-kader yang dapat meneruskan atau mewujudkan cita-cita Jepang dalam mewujudkan “Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.” Kemakmuran bersama Asia Timur Raya tersebut bisa tidaknya diwujudkan bergantung pada kemenangan Jepang dalam “Perang Asia Timur Raya.” Oleh karena itu, Jepang berpandangan bahwa segala aktivitas rakyat Indonesia, termasuk dalam bidang pendidikan harus tetap ditujukan pada kepentingan perang tersebut.
Selain melakukan upaya-upaya yang telah disebutkan, dalam bidang pendidikan Jepang kembali membuka sekolah-sekalah yang pernah diselenggarakan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Selain itu, pemerintah Jepang juga memberikan izin kepada sekolah-sekolah swasta untuk kembali beroperasi. Sekolah swasta yang semula berada dalam asuhan gending, kembali dibuka dengan catatan langsung diselenggarakan oleh pemerintah Jepang layaknya sekolah negeri. Izin kebebasan bagi sekolah-sekolah swasta baru ada setelah dikeluarkannya Osamu Seirei No. 22/2604 pada 1944. Osamu Seirei tersebut pada intinya adalah mengenai penertiban sekolah-sekolah swasta, sementara izin buka untuk sekolah swasta baru diberikan kepada Jawa Hokokai. Adapun sekolah swasta lain hanya diizinkan untuk membuka sekolah kejuruan dan bahasa. Beberapa perguruan tinggi seperti, Perguruan Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) di Jakarta, dan Perguruan Tinggi Teknik (Kogyo Daigaku) di Bandung).
2. Perkembangan Bahasa
Adanya larangan pemerintah Jepang untuk menggunakan bahasa Belanda dalam berbagai kesempatan, telah memberi peluang yang besar bagi perkembangan bahasa Indonesia. Pada waktu itu, baik orang Belanda maupun orang Indonesia tidak diperbolehkan memakai bahasa Belanda dan diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia. Larangan penggunaan bahasa Belanda tersebut benar-benar keras. Toko-toko, rumah makan, perusahaan, dan perkumpulan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda harus diganti dengan bahasa Indonesia. Begitu juga dengan film atau judul drama yang menggunakan bahasa Belanda dilarang peredarannya.
Selain melarang penggunaan bahasa Belanda, penjajah Jepang juga memperkenalkan bahasanya secara terbuka pada masyarakat Indonesia. Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda yang hanya mengajarkan bahasa Belanda pada sekolah atau golongan tertentu, bahasa Jepang diajarkan di setiap sekolah. Bahasa Jepang juga diperkenalkan kepada setiap kalangan masyarakat.
Penggunaan bahasa Jepang, selain dipopulerkan lewat pembelajaran di sekolah, juga diperkenalkan melalui media surat kabar. Dengan banyak ditutupnya surat kabar berbahasa Belanda, Jepang menerbitkan gantinya surat kabar dengan menggunakan bahasa Jepang. Sebagai contoh surat kabar Karna Jawa Shinbun merupakan surat kabar dengan menggunakan bahasa Jepang dengan huruf katakana. Begitu juga surat kabar lainnya yang diterbitkan pemerintah Jepang, semuanya menggunakan bahasa Jepang. Di samping menyebarkan dan memperkenalkan bahasa Jepang di Indonesia, Jepang juga berusaha untuk mempelajari bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak langsung semakin mendorong perkembangan bahasa Indonesia.
3. Perkembangan Karya Sastra
Perkembangan sastra pada masa pendudukan Jepang berbeda dibandingkan perkembangan sastra pada masa kolonial. Mengingat pendudukan Jepang yang berada dalam kondisi peperangan, sastra pada saat itu berupa cerita dan sajak-sajak bertujukan untuk menimbulkan semangat dan menyebarkan semangat patriotisme.
Pemerintah pendudukan Jepang menganjurkan karya sastra harus ditujukan ke arah usaha memenangkan "Perang Asia Timur Raya." Akibatnya lahir karya-karya sastra yang bersemangat sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang mengarahkan agar karya-karya seniman tersebut jangan menyimpang dari tujuan Jepang sehingga dilakukan langkah-langkah berikut.
- Mendirikan sebuah pusat kebudayaan pada 1 April 2603 (1943) di Jakarta, yaitu Keimin Bunka Shidoso.
- Penyiaran hasil karya Pujangga Baru, begitu mereka tiba di Indonesia, segera dihentikan oleh pihak Jepang.
- Di dalam Keimin Bunka Shidoso, kegiatan sastrawan dapat diawasi oleh Jepang.
Keimin Bunka Shidoso didirikan untuk memimpin dan mengawasi budaya umum untuk meningkatkan derajat (mutu) budaya rakyat asli.
Beberapa karya sastra yang digunakan untuk menambah semangat berkorban untuk kepentingan Asia Timur Raya, di antaranya Tjinta Tanah Sutji, karangan Nur Sutan Iskandar, Palawidja karangan Karim Halim, dan Angin Pudji karangan Usmar Ismail.
Adapun karya sastra yang tidak mendukung kepentingan Jepang tidak boleh terbit dan beredar. Sebagai contoh adalah sajak Chairil Anwar yang berjudul Siap Sedia.
Selama pendudukan Jepang, sandiwara sebagai bagian dari seni pertunjukan, mendapat fasilitas serta kebebasan bergerak oleh pemerintah Jepang. Sandiwara yang berfungsi sebagai penerangan ataupun sebagai hiburan untuk rakyat, misalnya sandiwara Bintang Surabaja, Tjahaya Timur, Wamasari, dan Miss Tjitjih.
Mengenai kegiatan seni musik Cornel Simanjuntak, menciptakan beberapa lagu, antara lain Tanah Tumpah Darahku yang menggambarkan rasa cinta terhadap tanah air. Begitu juga dengan lagunya Maju Putra-Putri Indonesia yang membangunkan semangat kesadaran bangsa Indonesia. Beberapa pengarang yang lahir pada masa pemerintahan pendudukan Jepang, antara lain Maria Amin, Rosihan Anwar, dan El Hakim.
4. Perkembangan Media Komunikasi Massa
Pada masa pendudukan Jepang, semua media komunikasi massa, seperti surat kabar, majalah, kantor berita, radio, film, dan sandiwara dikuasai oleh Jepang. Melalui media komunikasi tersebut, pemerintah Jepang mengkampanyekan berbagai propaganda yang pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan Jepang.
Surat kabar dan majalah yang terbit tanpa izin istimewa, tetapi berada dalam pengawasan badan-badan sensor yang disebut Jawa Shinbunkai. Pikiran-pikiran atau tulisan-tulisan yang tidak selaras dan bahkan merugikan kepentingan Jepang dilarang secara keras. Pada waktu itu, semua surat kabar yang berbahasa Belanda, Cina, dan Indonesia ditutup untuk menjaga kepentingan Jepang. Kecuali surat kabar Tjahaja Timoer dan surat kabar Pemandangan, untuk sementara terus beroperasi. Dalam hal ini, kedua penerbitan surat kabar tersebut menyampaikan bahwa penutupan penerbitan surat kabar adalah bentuk penekanan terhadap daya pikir seseorang. Setelah penyampaian kritiknya, kedua surat kabar tersebut dilarang untuk terbit kembali.
Setelah melakukan penutupan terhadap surat kabar yang berbahasa Belanda, Cina, dan Indonesia, pemerintah Jepang menerbitkan surat kabar yang berbahasa Jepang, seperti surat kabar Asia Raja dengan pimpinannya Sukardjo Wirjopranoto dan Jawa Shinbun. Keduanya dijadikan sebagai sumber pemberitaan bagi semua surat kabar di Jawa.
Selain itu, terbit pula surat kabar berbahasa Cina bernama Kung Yung Pao di bawah pimpinan Oei Tiang Tjoei. Di beberapa kota lainnya terbit pula surat kabar berbahasa Jepang, seperti Tjahaja di Bandung, Simr Matahari di Yogyakarta, dan Sinar Baroe di Semarang menggantikan surat kabar sebelumnya yang dipaksa tutup oleh pemerintah Jepang.
Seperti halnya surat kabar, radio pada masa pendudukan Jepang pun memiliki peran yang sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah Jepang segera menduduki beberapa kantor berita atau stasiun radio milik pemerintah atau swasta, seperti Perserikatan-Perserikatan Radio Ketimuran (PPRK). Pemerintah menghentikan semua aktivitas penyiaran radio yang telah berjalan sebelum pendudukan Jepang. Sebagai gantinya, Jepang membuat pengaturan akan penyiaran radio melalui pendirian Hoso Kanrikyoku atau badan yang mengurus dan menyelenggarakan siaran radio, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Di setiap kabupaten, didirikan kantor studio yang diberi nama shodanso. Melalui penyiaran radio ini pemerintahan Jepang menyebarluaskan propagandanya dan memanamkan pengaruhnya di Indonesia.