Kumpulan Cerita Legenda Rakyat Yang Berbekas
Sangkuriang dari Jawa Barat
Pada
zaman dahulu, tersebutlah kisah seorang puteri raja di Jawa Barat
bernama Dayang Sumbi. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi
nama Sangkuriang.
Anak tersebut sangat gemar berburu, Ia berburu dengan ditemani oleh
Tumang, anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu, bahwa anjing
itu adalah titisan dewa dan juga bapaknya.
Pada
suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk mengejar hewan
buruan. Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke
istana, Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya. Bukan main
marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar cerita itu. Tanpa sengaja ia
memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya.
Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi mengembara.
Setelah
kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia selalu berdoa
dan sangat tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah
hadiah. Ia akan selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah
bertahun-tahun mengembara, Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke
tanah airnya. Sesampainya disana, kerajaan itu sudah berubah total. Di
sana dijumpainya seorang gadis jelita, yang tak lain adalah Dayang
Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut maka, Sangkuriang
melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang Sumbi pun
sangat terpesona padanya.
Pada
suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta tolong
Dayang Sumbi untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang
Sumbi ketika melihat bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu
persis seperti luka anaknya yang telah pergi merantau. Setelah lama
diperhatikannya, ternyata wajah pemuda itu sangat mirip dengan wajah
anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka kemudian ia mencari daya
upaya untuk menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah
syarat. Pertama, ia meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum.
Dan kedua, ia minta Sangkuriang untuk membuat sebuah sampan besar untuk
menyeberang sungai itu. Kedua syarat itu harus sudah dipenuhi sebelum
fajar menyingsing.
Malam
itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan kesaktiannya ia mengerahkan
makhluk-makhluk gaib untuk membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang
Sumbi pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut. Begitu pekerjaan itu
hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan pasukannya untuk menggelar
kain sutra merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna memerah
di timur kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun
menghentikan pekerjaannya. Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia
tidak dapat memenuhi syarat yang diminta Dayang Sumbi.
Dengan
kekuatannya, ia menjebol bendungan yang dibuatnya. Terjadilah banjir
besar melanda seluruh kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang
dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi sebuah gunung yang
bernama “Tangkuban Perahu.”
Malin Kundang dari provinsi Sumatera Barat
Pada
suatu waktu, hiduplah sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah
Sumatera Barat. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu dan seorang
anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keuangan
keluarga memprihatinkan, sang ayah memutuskan untuk mencari nafkah di
negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas.
Maka
tinggallah si Malin dan ibunya di gubug mereka. Seminggu, dua minggu,
sebulan, dua bulan bahkan sudah 1 tahun lebih lamanya, ayah Malin tidak
juga kembali ke kampung halamannya. Sehingga ibunya harus menggantikan
posisi ayah Malin untuk mencari nafkah. Malin termasuk anak yang cerdas
tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan
sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu
dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas
dilengannya dan tidak bisa hilang.
Setelah
beranjak dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang
banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Ia berpikir
untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika
kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin tertarik dengan ajakan seorang nakhoda kapal dagang yang dulunya
miskin sekarang sudah menjadi seorang yang kaya raya.
Malin
kundang mengutarakan maksudnya kepada ibunya. Ibunya semula kurang
setuju dengan maksud Malin Kundang, tetapi karena Malin terus mendesak,
Ibu Malin Kundang akhirnya menyetujuinya walau dengan berat hati.
Setelah mempersiapkan bekal dan perlengkapan secukupnya, Malin segera
menuju ke dermaga dengan diantar oleh ibunya. “Anakku, jika engkau sudah
berhasil dan menjadi orang yang berkecukupan, jangan kau lupa dengan
ibumu dan kampung halamannu ini, nak”, ujar Ibu Malin Kundang sambil
berlinang air mata.
Kapal
yang dinaiki Malin semakin lama semakin jauh dengan diiringi lambaian
tangan Ibu Malin Kundang. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak
belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah
berpengalaman. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin
Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang
yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar
awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para
bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh
para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera
bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin
Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang
ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada,
Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai.
Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di
desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya.
Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan
keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil
menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan
anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya
raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita
Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai
juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan
sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin Kundang
setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke
kampung halamannya.
Setelah
beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan
kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya
yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya,
melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada
dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang
sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Malin
Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup
dekat, ibunya melihat bekas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin
yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin
Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan
kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tapi apa yang terjadi
kemudian? Malin Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan
mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri, sembarangan saja
mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang
pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah
tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya
istri Malin Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura
mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin kepada
istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh
anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya
menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin
menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku,
aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin
bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin
Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan
lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Pesan Moral Cerita Rakyat Legenda Malin Kundang
: Sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa orang tua
terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan
anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka
kepada orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung
sendiri oleh anak.
Jaka Tarub dari Jawa Tengah
Pada
jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di
daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok
Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari-hari Jaka Tarub dan Mbok
Milah bertani padi di sawah.
Pada
suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat
istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu
terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub
tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih
terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar
dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang-bintang di
langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi.
Mbok
Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah.
Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya
sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah. Ia
menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah
tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun
rata-rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk
membantu Jaka Tarub menemukan istri.
Siang
hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak
Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu
sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka
percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi
pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia
sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya.
“Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan
anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.
Mbok
Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia
sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur
katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan
Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin
mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia
menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri.
“Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita
masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia
pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.
Hari
berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk
membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka
Tarub tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri
yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan
niatnya semula.
Jaka
Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang
pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang
ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil.
Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau
dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya.
Mbok
Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia
berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang
bisa mereka makan beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian Mbok Milah
masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke
sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua.
Tak
memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor
menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan
bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah
asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka
Tarub. Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub
panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut
pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera
menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.
Jaka
Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru
dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan
buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini
?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di
benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi.
Nasib
sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu
beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin
meninggi. Jaka Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena
ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub
memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa.
Ketika
Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang
berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa
orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran
Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat
Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah.
Jaka
Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan.
Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi
dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada
apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari
menuju rumahnya.
“Ada
apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut
dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka
Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka
Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki
rumah.
Mata
Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku
diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub
menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan
air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi,
pikirnya.
Jaka
Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah
Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah
telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya. Ia
merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal
belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang
cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan
tenang.
Sepeninggal
ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap
hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke
tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya.
Seperti
pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan
santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika
sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di
depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang
didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun.
Karena
rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea
rah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal
masyarakat sebagai Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di danau itu,
Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara
gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku
saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di
tengah hutan belantara begini ?”.
Dengan
mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau
Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub
mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya
Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau
Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang.
Jaka
Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas
sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang
gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti
mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang.
Mata
Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar
di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika
aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak
akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi
senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan
bersedia menjadi istrinya.
Dengan
hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia
berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya,
tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna
merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak
semak.
Tiba
tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang.
Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum
matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari
danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing.
“Dimana
bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku
?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh
bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama
dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat
sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan.
Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga.
Karena
Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau
Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan.
Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka
Tarub ke rumahnya.
Akhirnya
seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera
pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang
sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk
dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan
meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi
penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata.
Nawangwulan
kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang
bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi
bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi
memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang.
“Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya.
Jaka
Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia
membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka
Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar
seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau
butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”.
Jaka
Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar
tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya.
“Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali
kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia
memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan
bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya.
Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub
dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama
Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya
Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang
berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya.
Sejak
menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada
satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran
mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau
dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen
yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat
lagi menampungnya.
Pada
suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan
Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu
untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya.
Ketika
sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun,
Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena
terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah
matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan
pesan Nawangwulan.
Betapa
terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya
memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka
yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama
ini.
Nawangwulan
yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di
pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka
Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah
kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut
Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak.
Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”.
Jaka
Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah
terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk
dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin
menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar
lumbung.
Seperti
biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang
untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang
tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang
lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah
Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil
diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !!
Bermacam
perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh
Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak
menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub.
Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi
begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan.
Sore
hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati
Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil
berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab. Saat itu
matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri
di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia
mengamatinya sesaat.
Jaka
Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang
dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan
terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya.
Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau
Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini
berarti rahasianya telah terbongkar.
“Kenapa
kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan
nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup
diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat
merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya.
“Sekarang
kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan.
“Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang
bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab.
Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan.
“Kau
harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri
lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka
Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa
sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya.
“Betapapun
salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin
bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan
turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsih.
“Hanya satu syaratnya, kau tidak boleh bersama Nawangsih ketika aku
menemuinya. Biarkan ia seorang diri di dekat batang padi yang dibakar”,
lanjut Nawangwulan.
Jaka
Tarub menahan kesedihannya dengan sangat. Ia ingin terlihat tegar.
Setelah Jaka Tarub menyatakan kesanggupannya untuk tidak bertemu lagi
dengan Nawangwulan, sang bidadaripun terbang meninggalkan dirinya dan
Nawangsih. Jaka Tarub hanya sanggup menatap kepergian Nawangwulan sambil
mendekap Nawangsih. Sungguh kesalahannya tidak termaafkan. Tiada hal
lain yang dapat dilakukannya saat ini selain merawat Nawangsih dengan
baik seperti pesan Nawangwulan.